Sobat, kalian tentu tahu, hari ini, tepat di tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Nah, di sini, Ikhwan mau
mengajak sobat merenungi dan berkaca dengan pendidikan nasional Indonesia saat
ini.
Ikhwan mulai dari sejarah terbentuknya 2 Mei sebagai
Hardiknas. Mari menengok ke belakang sejenak.
Kita perlu mengingat salah seorang pejuang pendidikan kita,
ialah Ki Hajar Dewantara. Ia merupakan sosok pejuang yang sangat berjasa,
utamanya dalam hal pendidikan di Indonesia.
Ki Hajar Dewantara yang memiliki nama kecil Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Tanggal inilah yang
kemudian diabadikan sebagai Hardiknas.
Ki Hajar menamatkan pendidikan dasarnya di ELS, kemudian
sempat melanjut ke STOVIA, sebuah sekolah dokter bumi putera, namun sayangnya
tidak sampai tamat karena ia sakit.
Ki Hajar kemudian bekerja sebagai wartawan.
Tulisan-tulisannya terhadap Belanda dinilai pedas, sehingga ia pernah
diasingkan. Di tempat pengasingan itulah kemudian muncul gagasan-gagasannya
mengenai pendidikan. Ia bercita-cita memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu
pengetahuan, sama seperti belajarnya para Belanda.
Akhirnya setelah kepulangannya, pada tanggal 3 Juli 1992, ia
berhasil mendirikan Taman Siswa. Di sinilah ia mulai mengajarkan
pendidikan-pendidikan bagi kaum pribumi. Keuletannya dalam dunia pendidikan
mengangkatnya menjadi Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Sobat, dari kisah di atas dapat kita renungi, betapa
beratnya perjuangan demi memperoleh pendidikan. Ki Hajar sampai harus
diasingkan karena tulisannya mengenai penuntutan keadilan pendidikan terhadap
Belanda.
Sebagai manusia yang mampu berpikir, seharusnya kita mampu
menghargai. Bagaimana caranya? Sobat bisa menjawab sendiri. Mungkin sebagian
dari sobat “masa bodoh” dengan sekolah, menganggap pendidikan itu tak berarti.
Sadarlah! Bukankah sobat punya akal?
Pendidikan tak hanya membawa kita pada pekerjaan yang layak
dan kemewahan dunia. Tetapi pendidikan juga “menghidupkan” mata hati. Dengan
pendidikan, manusia dapat menghargai orang lain. Pendidikan mengarahkan kita
pada ketidaksombongan!
Sobat, cobalah sedikit merenungi arti pendidikan. Ikhwan di
sini hanya ingin mencoba membantu membuka mata hati kalian.
Di tulisan ini, Ikhwan juga ingin mengulas mengenai model
pendidikan Indonesia saat ini. Dalam Pembukaan UUD 1945 telah dipaparkan bahwa
salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Namun apakah cita-cita itu telah terwujud? Jawabannya BELUM!
Pendidikan saat ini belum berhasil mencerdaskan dan membangun karakter bangsa yang kuat. 67 tahun
sudah Indonesia “katanya” merdeka. Namun kenyataannya pendidikan Indonesia
masih terbengkalai di sana-sini. Program wajib belajar 9 tahun belum sepenuhnya
menyeluruh. Masih banyak anak yang putus sekolah karena tidak punya biaya,
masih banyak anak di bawah umur yang ikut bertanggung jawab menafkahi keluarga.
Padahal tercantum sudah bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara (Pasal 34 ayat (1) UUD 1945). Tetapi kenyataannya?
Ayat itu seperti hanya omong kosong, hanya cita-cita Indonesia yang semu.
Pemerintah seperti salah sasaran.
Tetapi juga salah jika kita hanya menyalahkan pemerintah.
Kita juga harus berkaca pada diri sendiri. Tanyakan pada dirimi, apakah saya
sudah bisa bertanggung jawab pada pendidikan saya? Apakah saya sudah dapat
mengamalkan apa yang saya tahu?
Sebagai manusia yang berkepribadian luhur, sudah merupakan
kewajiban bagi kita untuk membantu mereka yang kesusahan. Salah satunya adalah dengan
berbagi pengetahuan kepada mereka yang tidak bisa mengenyam pendidikan di
sekolah. Jika semua manusia sudah sadar akan hal ini, cita-cita Indonesia tentu
bisa menjadi nyata, bukan lagi cita-cita yang semu.
Di akhir tulisan ini, Ikhwan cuma mau berkata, marilah
kita belajar menghargai, menyadari, mengamalkan, dan membagikan pengetahuan
yang telah kita miliki demi terwujudnya cita-cita negara kita tercinta.