Stelah
shalat tarawih, kemudian dilanjutkan shalat witir secara berjama’ah, bolehkah
melakukan shalat sunnah tahajud dan shalat sunnah lainnya?
Hal ini
selalu menjadi polemik saat Ramadhan telah tiba. Biasanya, setelah shalat
tarawih, umat Islam langsung melanjutkannya dengan shalat witir secara berjama’ah
di masjid. Ketika sahur, sambil menunggu waktu makan mungkin, kita berinisiatif
untuk melakukan shalat tahajud dan shalat malam lainnya. Namun, ada kebingungan
di dalam hati, apakah masih boleh shalat, sedangkan shalat witir sudah
dilakukan?
Untuk permasalahan
ini, ada dua pendapat.
Pendapat yang pertama mengatakan
bahwa tetap boleh shalat tahajud (atau
sunnah lainnya) sesukanya setelah witir, dan shalat witirnya tidak perlu
diulangi.
Pendapat ini
adalah yang dipilih oleh mayoritas ulama seperti ulama-ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah, pendapat yang masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan
pendapat ini juga menjadi pendapat An Nakho’i, Al Auza’i dan ‘Alqomah. Mengenai
pendapat ini terdapat riwayat dari Abu Bakr, Sa’ad, Ammar, Ibnu ‘Abbas dan
‘Aisyah. Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama,
‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8
raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir,
beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan
ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’.
Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat
dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)
Kedua, dari
Ummu Salamah, beliau mengatakan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat dua raka’at sambil duduk
setelah melakukan witir (HR. Tirmidzi no. 471. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih).
Ketiga, dari
Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ مِنْكُمْ
أَنْ لاَ يَسْتَيْقِظَ مِنْ
آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ
ثُمَّ لْيَرْقُدْ …
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir
tidak bangun di akhir malam, maka berwitirlah di awal malam lalu tidurlah, ...”
(HR. Tirmidzi no. 1187. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dipahami dari hadits ini bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari
–sebelumnya sudah berwitiri sebelum tidur – maka dia masih diperbolehkan untuk
shalat.
Adapun dalil
yang mengatakan bahwa shalat witirnya tidak perlu diulangi adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ وِتْرَانِ فِى
لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.”
(HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pendapat kedua, mengatakan bahwa
tidak boleh melakukan shalat sunnah
lagi sesudah melakukan shalat witir kecuali
membatalkan shalat witirnya yang pertama, kemudian dia shalat dan witir
kembali.
Maksudnya di
sini adalah jika sudah melakukan shalat witir kemudian punya keinginan untuk
shalat sunnah lagi sesudah itu, maka shalat sunnah tersebut dibuka dengan
mengerjakan shalat sunnah 1 raka’at untuk menggenapkan shalat witir yang
pertama tadi. Kemudian setelah itu, dia boleh melakukan shalat sunnah (2
raka’at – 2 raka’at) sesuka dia, lalu dia berwitir
kembali.
Inilah
pendapat lainnya dari ulama-ulama Syafi’iyah. Mengenai pendapat ini terdapat
riwayat dari ‘Utsman, ‘Ali, Usamah, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas.
Dasar dari pendapat ini adalah diharuskannya shalat witir sebagai penutup
shalat malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ
وِتْرًا
“Jadikanlah penutup shalat malam kalian
adalah shalat witir.” (HR. Bukhari
no. 998 dan Muslim no. 751)
Pendapat yang Terkuat
Dari dua
pendapat di atas, pendapat yang terkuat adalah pendapat pertama dengan beberapa
alasan berikut.
Pertama,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah setelah beliau
mengerjakan shalat witir. Perbuatan beliau ini menunjukkan bolehnya hal
tersebut.
Kedua,
pendapat kedua yang membatalkan witir pertama dengan shalat 1 raka’at untuk
menggenapkan raka’at, ini adalah pendapat yang lemah ditinjau dari dua sisi.
1.
Witir pertama sudah dianggap sah. Witir tersebut
tidaklah perlu dibatalkan setelah melakukannya. Dan tidak perlu digenapkan
untuk melaksanakan shalat genap setelahnya.
2.
Shalat sunnah dengan 1 raka’at untuk
menggenapkan shalat witir yang pertama tadi tidaklah dikenal dalam syari’at.
Dengan dua
alasan inilah yang menunjukkan lemahnya pendapat kedua.
Kesimpulan
Dari
pembahasan kali ini, ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama,
bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesudah shalat witir.
Kedua,
diperbolehkannya hal ini juga dengan alasan bahwa shalat malam tidak ada
batasan raka’at sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’
Al Fatawa, 22/272).
Jika kita
telah melakukan shalat tarawih ditutup witir bersama imam masjid, maka di malam
harinya kita masih bisa melaksanakan shalat sunnah lagi. Sehingga tidak ada
alasan untuk meninggalkan imam masjid ketika imam baru melaksanakan shalat
tarawih 8 raka’at dengan niatan ingin melaksanakan shalat witir di rumah
sebagai penutup ibadah atau shalat malam. Ini tidaklah tepat karena dia sudah
merugi karena meninggalkan imam sebelum imam selesai shalat malam.
Padahal
pahala shalat bersama imam hingga imam selesai shalat malam disebutkan dalam
hadits, “Siapa yang shalat bersama imam
sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi. Shahih).
Ketiga, adapun
hadits Bukhari-Muslim yang mengatakan “Jadikanlah
penutup shalat malam kalian adalah shalat witir”, maka menjadikan shalat
witir sebagai penutup shalat malam di sini dihukumi sunnah (dianjurkan) dan
bukanlah wajib karena terdapat dalil pemaling dari perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 395).
Demikian,
semoga dengan penjelasan ini dapat menambah pengetahuan pembaca, dan tidak lagi
bertanya-tanya.
Wallahu a’lam