Thursday, 15 August 2013

Hukum Mengqadha' (Membayar Hutang) Puasa Ramadhan



Sobat, ngomongin soal puasa Ramadhan, tentu banyak di antara kita yang kemarin berhutang, entah karena alasan apa. Ada yang karena sakit, sedang dalam perjalanan, atau yang paling banyak adalah wanita karena udzurnya, yaitu haid. Nah, karena kemarin ada hutang, maka kita pun wajib membayarnya atau dengan kata lain mengqahdha. Sebenarnya, bagaimana sih hukum mengqadha puasa? Bolehkah kita melakukannya secara tidak berturut-turut? Lalu bagaimana jika kondisi tubuh tidak memungkinkan untuk puasa? Mari kita simak ulasan berikut ini.


1. Qadha' (Penunaian, red) tidak wajib segera dilakukan  
Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak  wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha (yang artinya), “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha'nya kecuali di  bulan Sya'ban" (HR Bukhari 4/166, Muslim 1146, Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal.422)

Setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya beliau (yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan  mengahhirkan qadha' (sampai pada ucapan Syaikh) maka menjadi tersamar atasnya bahwa ketidakmampuan Aisyah adalah merupakan udzur (alasan), maka perhatikanlah.

Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191, "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur  ataupun tidak". 

Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik   daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang   menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur'an (yang artinya) : “Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" (Ali Imran : 133) 

Firman ALLAH (yang artinya), “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" (Al-Mu'minuun : 61) 

2. Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha' karena ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang artinya), “Maka   (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain". 
Dan Ibnu Abbas berkata (yang artinya), “Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)" (Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shahih)
Abu Hurairah berkata, "Diselang-selingi kalau mau" (Lihat Irwaul Ghalil 4/95)

Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu' artinya, “Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya"
Ini adalah riwayat yang Dhaif (lemah). Daruquthni berkata bahwa Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif. 
Al-Baihaqi berkata, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan Daruquthni".  Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa  beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman. 
Syaikh kami Al-Albany Rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits  ini dalam Irwa'ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam Silsilah Hadits  Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju' dari  pendapatnya. 

Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut  pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara  berturut-turut dalam mengqadha', namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin, -ed) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal   Rahimahullah.

Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95, "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab, "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut". Wallahu 'alam. Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut. 

3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang  puasa, maka walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha'nya.  
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh  anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi. 

Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar  puasa, harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 

"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" (Bukhari 4/168, Muslim 1147)  

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  menjawab ‘Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar’.” (Bukhari  4/168, Muslim 1148) 

Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

Lalu, Bagaimana Jika Si Mayit Punya Hutang Puasa Ramadhan?
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk  mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang  terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata bahwa dia mendengar Ahmad bin Hambal berkata, "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan?". Beliau menjawab, "Memberi makan". 

Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah, "Apakah aku harus mengqadha' puasanya ?" Aisyah  menjawab, "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim". (Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih)

Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia  riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas  Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : "Jika salah seorang dari kalian sakit di  bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha', kalau punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya" (Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan sanadnya).

Kesimpulan
1.     Puasa qadha boleh ditunda sampai waktu yang dipilih seseorang.
2.     Tetapi, Sebaiknya, puasa qadha dilakukan sesegera mungkin, mengingat hal itu adalah kewajiban. Sebelum kewajiban terpenuhi, amalan puasa sunnah belum boleh dilakukan.
3.     Diperbolehkan untuk melakukan puasa qadha (membayar hutang puasa)secara terpisah, artinya tidak berturut-turut.
4.     Bagi orang yang sudah meninggal, apabila ia punya hutang puasa Ramadhan, maka walinya wajib memberi makan fakir miskin.
5.     Sedangkan bila orang yang meninggal punya hutang puasa nadzar, maka walinya wajib mempuasakannya (membayarkan puasanya).

Wallau A’lam

Sumber: Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.



Mari berbagi tulisan!

Artikel Terkait

Komentar
0 Komentar

Bookmark Sinyal Pintar

Copy-Pastekan kode ini untuk bookmark Sinyal Pintar di blog/website-mu.
Teks

Banner