Sobat,
ngomongin soal puasa Ramadhan, tentu banyak di antara kita yang kemarin
berhutang, entah karena alasan apa. Ada yang karena sakit, sedang dalam
perjalanan, atau yang paling banyak adalah wanita karena udzurnya, yaitu haid.
Nah, karena kemarin ada hutang, maka kita pun wajib membayarnya atau dengan
kata lain mengqahdha. Sebenarnya, bagaimana sih hukum mengqadha puasa? Bolehkah
kita melakukannya secara tidak berturut-turut? Lalu bagaimana jika kondisi
tubuh tidak memungkinkan untuk puasa? Mari kita simak ulasan berikut ini.
1. Qadha' (Penunaian, red) tidak wajib
segera dilakukan
Ketahuilah
wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama
kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan
jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu
'anha (yang artinya), “Aku punya hutang
puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha'nya kecuali di bulan Sya'ban" (HR Bukhari 4/166,
Muslim 1146, Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal.422)
Setelah
membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya beliau
(yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan sebelum
Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak
akan mengahhirkan qadha' (sampai pada
ucapan Syaikh) maka menjadi tersamar atasnya bahwa ketidakmampuan Aisyah adalah
merupakan udzur (alasan), maka perhatikanlah.
Berkata
Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191, "Dalam
hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara
mutlak, baik karena udzur ataupun tidak".
Sudah
diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik daripada
mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan
untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan
ayat dalam Al-Qur'an (yang artinya) : “Bersegeralah
kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" (Ali Imran : 133)
Firman ALLAH
(yang artinya), “Mereka itu bersegera untuk
mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya"
(Al-Mu'minuun : 61)
2. Tidak wajib berturut-turut dalam
mengqadha' karena ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.
Berdasarkan
firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang artinya), “Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain".
Dan Ibnu
Abbas berkata (yang artinya), “Tidak
mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)" (Dibawakan oleh Bukhari
secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad Shahih)
Abu Hurairah
berkata, "Diselang-selingi kalau mau"
(Lihat Irwaul Ghalil 4/95)
Adapun yang
diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin
Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu' artinya, “Barangsiapa yang punya hutang puasa
Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya"
Ini adalah
riwayat yang Dhaif (lemah).
Daruquthni berkata bahwa Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.
Al-Baihaqi
berkata, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan
Daruquthni". Ibnu Hajar menukilkan
dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami
Al-Albany Rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dalam Irwa'ul Ghalil no. 943. Adapun yang
terdapat dalam Silsilah Hadits Dhaif
2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju' dari pendapatnya.
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits
yang marfu' dan shahih -menurut
pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha', namun yang
lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin, -ed)
adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad
bin Hanbal Rahimahullah.
Abu Dawud
berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95, "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya
tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab, "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut".
Wallahu 'alam. Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan
dibolehkannya secara berturut-turut.
3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa
yang wafat dan punya hutang puasa, maka
walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha'nya.
Begitu pula
orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus
mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang
dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
Namun
barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai
hutang nadzar puasa, harus dipuasakan
oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang
puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" (Bukhari 4/168, Muslim
1147)
Dan dari
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Datang seseorang kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Ya Rasulullah,
sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus
membayarnya?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab ‘Ya, hutang kepada Allah lebih
berhak untuk dibayar’.” (Bukhari 4/168,
Muslim 1148)
Hadits-hadits
umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan)
mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan
madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Lalu, Bagaimana Jika Si Mayit Punya Hutang
Puasa Ramadhan?
Tetapi
hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian
pendapat Imam Ahmad seperti yang
terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata
bahwa dia mendengar Ahmad bin Hambal berkata, "Tidak berpuasa atas mayit
kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan?".
Beliau menjawab, "Memberi makan".
Inilah yang
menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh
pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu
haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah
tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa
Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah)
sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi
hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan
punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah, "Apakah
aku harus mengqadha' puasanya ?" Aisyah
menjawab, "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya
setengah gantang untuk setiap muslim". (Diriwayatkan Thahawi dalam
Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam
Al-Muhalla, dengan sanad sahih)
Sudah
disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula
adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : "Jika salah seorang dari
kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian
wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha', kalau
punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya" (Diriwayatkan Abu Dawud dengan
sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan sanadnya).
Kesimpulan
1. Puasa qadha boleh ditunda sampai waktu yang
dipilih seseorang.
2. Tetapi, Sebaiknya, puasa qadha dilakukan
sesegera mungkin, mengingat hal itu adalah kewajiban. Sebelum kewajiban
terpenuhi, amalan puasa sunnah belum boleh dilakukan.
3. Diperbolehkan untuk melakukan puasa qadha
(membayar hutang puasa)secara terpisah, artinya tidak berturut-turut.
4. Bagi orang yang sudah meninggal, apabila ia
punya hutang puasa Ramadhan, maka walinya wajib memberi makan fakir miskin.
5. Sedangkan bila orang yang meninggal punya hutang
puasa nadzar, maka walinya wajib mempuasakannya (membayarkan puasanya).
Wallau A’lam
Sumber:
Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh
Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.