Tuesday 6 October 2015

Bersyukur Tidak Hanya di Lisan, tetapi Harus dengan Perbuatan

Syukur, satu kata yang sangat mudah diucapkan tetapi sungguh sulit untuk dilaksanakan. Bibir yang manis ini sering sekali mengucapkan kata itu atau yang sepadan dengan itu, tetapi tangan dan kaki sulit sekali menyatakan. Ketika kita baru saja mendapatkan rezeki yang melimpah, bibir ini berucap hamdalah. Ketika kita baru saja sembuh dari sakit, mulut ini memuji Yang Maha Kasih. Namun, apakah hanya mulut manis ini saja yang berucap demikian?

Syukur by annur2.net
Saat badan ini ditimpa penyakit, kita menggerutu dan memohon kesembuhan. Saat isi dompet ini hanya tinggal struk swalayan, tangan ini menengadah meminta pertolongan. Saat hidup ini tertimpa musibah, kening ini disujudkan di atas sajadah. Akan tetapi, setelah semua itu berakhir, adakah janji-janji kita kepada-Nya ditepati? Padahal Dia telah sangat baik, tetapi sebagian besar dari kita lupa dalam keadaan senang. Apakah kita termasuk golongan orang-orang yang Dia sebutkan dalam ayatnya berikut ini?


“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (Fushshilat-51)


Semoga saja tidak. Maka, sudah seharusnya ketika Allah baru saja melebihkan kita, syukur yang kita ucapkan lewat kalimat bukanlah sekadar formalitas belaka. Syukur bukan hanya sekadar ungkapan hamdalah, tetapi harus dibarengi dengan penghayatan, yaitu tidak menjadikannya sekilas saja. Syukur harus disertai dengan praktik. Seharusnya ketika Allah melimpahkan nikmatnya, ada tindak lanjut dari hamdalah itu.

Ketika kita baru saja sembuh dari sakit, maka syukurnya adalah dengan memanfaatkan keadaan sehat untuk beribadah dan membantu yang lemah. Bukan malah untuk bergembira berlebihan, berjalan ke tempat maksiat, dan lupa kepada masjid. Kaki dan tangan ini akan dimintai pertanggungjawaban. Untuk apa saat sehat? Untuk apa dalam keadaan merdeka? Adakah Allah di dalamnya?

Ketika baru saja mendapatkan rezeki, maka syukurnya adalah dengan mengingat kotak amal masjid, menyantuni anak yatim, mengasihi fakir miskin. Karena sesungguhnya ada hak mereka di antara rezeki yang diperoleh. Bukan untuk foya-foya dan bersikap boros. Bukan untuk pesta tanpa manfaat.

Memang, tindak lanjut dari ucapan hamdalah sangat sulit. Akan tetapi, di sinilah sebenarnya kita diuji. Ujian kesehatan, rezeki, kesenangan, lebih berbahaya daripada ujian dalam kondisi malang, karena ujian-ujian jenis ini tak terasa seperti ujian, sehingga banyak yang lupa. Padahal, nikmat-nikmat inilah yang akan ditanyakan pertanggungjawabannya kelak. Untuk apa waktu luangmu? Kemanakah hartamu? Apa yang kamu lakukan di waktu sehat? Jika kita tidak ingat, maka tamatlah kita di akhirat.

Rasanya, sebagian besar dari kita sudah familiar dengan ayat berikut ini.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)


Maka sebenarnya, ketika syukur dilaksanakan secara benar, saat itu kita sedang menyelamatkan diri sendiri. Juga, sedang mempersiapkan menerima yang tambahan dari sisi Allah. Dan tentunya, kita sedang berupaya berjalan dalam kebaikan di dunia, untuk ketenteraman di kehidupan setelahnya.

Jadi, masihkan syukur kita hanya akan tergambar lewat lisan saja?



Mari berbagi tulisan!

Artikel Terkait

Komentar
0 Komentar

Bookmark Sinyal Pintar

Copy-Pastekan kode ini untuk bookmark Sinyal Pintar di blog/website-mu.
Teks

Banner